Petani Minta PTPN VIII Bertanggungjawab

Posted by | Posted on 03.20

BANDUNG, TRIBUN - Ratusan petani penggarap Sampalan, Desa Marga Mekar, dan Sukamanah Kecamatan Pangalengan yang tergabung dalam AGRA AC Pangalengan, berunjukrasa menuntut tanah garapan kembali dikembalikan, Jumat (29/7) siang ini.
Mereka mendesak pada DPRD Komisi A dan C Jabar untuk menghentikan tindakan Perusahaan Daerah Agronesia dan Pertambangan yang telah mengkriminalisasi beberapa orang petani.
Mereka menuntut PTPN VIII harus bertanggungjawab atas tindakan kekerasan terhadap warga Walatra pada 25 Juli 2011.
"Segera legalisasikan lahan Sampalan untuk petani penggarap dan tanah Walatra untuk warga penghuni," ujar koordinator aksi, Anang. (fam)

Warga Pangalengan Minta Hentikan Kekerasan

Posted by | Posted on 03.18

http://www.pikiran-rakyat.com/node/153566#.TjPaSdGVVdI.bloggerWarga Pangalengan Minta Hentikan Kekerasan

Pengunjukrasa Minta Segelas Beras

Posted by | Posted on 03.09

BANDUNG, TRIBUN - Indonesia Bangkit yang terdiri dari berbagai forum, melakukan aksi keprihatinan terkait dengan kasus yang menimpa petani Kabupaten Pangalengan, yang terancam kehilangan lahan.

Aksi dilakukan dengan meminta segelas beras dari masyarakat yang kebetulan melintas di halaman Gedung Sate.

Program ini akan dilaksanakan selama sebulan ke depan dengan target 3 ton beras.

"Program ini diperuntukan bagi 1.500 kepala keluarga, kami mencoba mengkampanyekan lagi hingga Agustus akhir. Rencananya aksi ini akan dilakukan secara nasional. Kami ingin menguji respek publik bagaimana kepedulian mereka terhadap petani," ujar Reza Ali Fahmi, koordinator aksi, Jumat (29/7).(fam)

RATUSAN PETANI AGRA JABAR-BANTEN MINTA PDAP HENTIKAN AKSI KRIMINALISASI

Posted by | Posted in | Posted on 02.24

Salah seorang aktivis Indonesia bangkit Kota Bandung di depan Gd. Sate.

BANDUNG, (PRLM).-Ratusan petani asal yang menamakan diri Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jabar-Banten berdemonstrasi di depan Gedung Sate, Jln. Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (29/7) siang. Para pendemo yang merupakan petani penggarap di Pangalengan Kab. Bandung itu, meminta PDAP (Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan) untuk menghentikan aksi kriminalisasi terhadap petani penggarap. Mereka juga menuntut PTPN VIII bertanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap warga Walatra Kec. Pangalengan Kab. Bandung, pada Senin (25/7) silam.

Setiawan (60), seorang pendemo yang juga petani penggarap di sana, menceritakan, pada Senin (25/7) itu, warga diserang ratusan massa dari PTPN VIII. Warga yang diserang adalah warga korban gempa Jabar 2009 yang ditempatkan sementara di tanah HGU PTPN VIII (Walatra). Sementara penyerangnya adalah para buruh tani penggarap yang dipekerjakan PTPN VIII.

"Jadi bohong kalau PTPN bilang itu massa tidak dikenal. Kami mengenal betul mereka sebagai bagian dari PTPN VIII. Mereka tiba-tiba datang lalu memukul kami. Mereka juga menghina dan merusak rumah-rumah warga yang jumlahnya sekitar 75 kepala keluarga. Tidak sampai sana, mereka juga mencuri dan menjarah barang-barang yang ada di rumah warga. Empat orang warga mengalami luka-luka dan sempat dibawa ke rumah sakit," ujar Setiawan.

Yang membuat Setiawan dan para warga lainnya kian jengkel, ialah sikap kepolisian yang membiarkan peristiwa pengrusakan, penganiayaan dan penjarahan itu terjadi. "Polisi ada di sana tapi mereka diam saja. Tidak berusaha mencegah atau bagaimana. Kalau memang kalah jumlah, kan bisa diprediksi sebelumnya kalau bakal seperti itu soalnya jumlah penyerang banyak sekali. Anehnya lagi, tidak ada satupun dari para penyerang itu yang diamankan polisi. Kami, warga, tambah bingung. Kemana lagi harus cari perlindungan jika polisinya saja seperti berpihak ke perusahaan," kata Setiawan lagi.

Karena itulah, ratusan petani penggarap itu, datang ke Gedung Sate untuk minta perlindungan ke pemerintah. Mereka datang memakai beberapa truk. Mereka juga membawa tiga pohon pisang setinggi 1,5 meter dan satu kantong kresek tanah. Keempat barang bawaan itu, dilemparkan ke dalam halaman Gedung Sate. Pohon pisang dan tanah itu adalah simbol kehidupan petani yang dirampas pemerintah, yaitu PTPN VIII.

Dalam aksi unjuk rasa itu, hampir seluruh warga datang, mulai dari yang tua, pria, wanita, hingga anak kecil. Salah satunya Ida (55). Dia turut berdemo bersama suaminya, tiga anak dan delapan cucunya. "Sudah dua tahun ini kami sekeluarga jadi petani penggarap di lahan itu. Kami menyewa sepetak lahan di sana sekitar 40 tumbak. Tiba-tiba sekarang disuruh pergi karena ada perusahaan besar yang mau memakainya. Terus sekarang kami harus ke mana? Padahal kami dulu suruh tinggal di sana oleh pemerintah karena tidak mendapat bantuan gempa," katanya.

Juru Bicara AGRA Jabar Andi Nurroni, memaparkan, konflik pertanahan di Pangalengan Kab. Bandung terus meruncing yang menimbulkan konflik horizontal. Puncaknya adalah Senin silam ketika sejumlah massa dari PTPN VIII menyerang warga korban gempa bumi 2009 yang ditempatkan sementara di perkebunan Walatra. "Kami sangat prihatin dengan kejadian itu. Kami mencoba menuntut hak hidup dan mempertahankan diri. Padahal tanah yang digarap merupakan tanah terbengkalai yang dibiarkan. Namun setelah bernilai ekonomis, pemerintah begitu saja mengambilnya," ujarnya.

Atas dasar itulah, Andi berusaha mengetuk hati warga Bandung untuk menyumbang segelas beras bagi petani Pangalengan Kab. Bandung. "Para petani disana dalam kondisi serba kesulitan karena lahannya diserobot paksa oleh pemerintah," ujarnya.

Gerakan sumbangan itu nantinya akan ditangani Indonesia Bangkit yang merupakan gabungan beberapa ormas seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jabar Banten. "Caranya unik. Kami menghimpun beras dengan cara menjual segelas beras seharga Rp 2.000 kepada warga Kota Bandung dan sekitarnya. Untuk tahap awal ini, kami membawa 30 gelas beras. Uangnya nanti diberikan kepada para petani penggarap warga Pangalengan itu. Kami prihatin karena petani yang mestinya punya beras di lumbungnya, malah sulit dapat beras," kata Andi.

Andi menambahkan, aksi akan berlangsung hingga 24 Agustus 2011. Dia menargetkan, menargetkan bisa terkumpul 3 ton beras agar bisa dimanfaatkan oleh 1.500 keluarga petani di Pangalengan. "Kita asumsikan 1 keluarga mengkonsumsi 2 kilogram beras per hari. Jadi kalau terkumpul 3 ton beras, masyarakat Bandung telah menghidupi para keluarga petani di Pangalengan," ucapnya. (A-128/kur)***

CATATAN DI BALIK AK SEGELAS BERAS UNTUK PETANI

Posted by | Posted in | Posted on 22.58

Spanduk kampanye dibentangkan saat peluncuran AK
Segelas Beras untuk Petani (23/7). Foto: Edi.
Di negeri yang konon dipuji sebagai salah satu keberhasilan demokrasi ini, adalah ironi saat kepentingan mayoritas tidak lagi menjadi prioritas. Itulah kondisi yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia yang tidak pernah  merasakan kemerdekaan atas tanah dan, lebih parah, harus menghadapi sakitnya kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Tidak bisa dimungkiri lagi, negara kita telah gagal dalam memajukan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Tidak pernah ada perubahan signifikan dalam dunia pertanian di tanah air. Bayangkan, keberadaan kerbau pembajak, cangkul, dan alat kerja tradisional lainnya yang merupakan peninggalan nenek moyang kita dari abad pertengahan, masih menjadi tumpuan utama dalam pertanian nasional. Lantas dimana korelasi antara ilmu pengetahuan yang (konon) dikembangkan di dunia pendidikan kita dengan kemajuan sistem pertanian? Hal ini berimbas pada semakin merosotnya kualitas hidup petani. Mereka harus bergelut dengan ketidakpastian nasib, tanpa adanya kepastian penghasilan dan jaminan sosial. Sebagai bukti, mari kita tengok persoalan petani yang ada di wilayah Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa Barat.

Tercatat sejak akhir tahun 1970-an, Pemrov Jabar menyewakan tanah seluas 134 hektar kepada PD Kertasari Mamin-Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan (PDAP), sebuah perusahaan BUMD milik Pemerintah Daerah. Sayangnya, perusahaan ini tidak mengalami kemajuan. Pada Perkembangannya, hanya satu hektar saja yang dimanfaatkan secara langsung, sementara sisanya disewakan kepada sejumlah tuan tanah lokal, bahkan sebagian lainnya dijual secara ilegal. Praktis, bukannya memberikan manfaat, perusahaan yang bekerjasama dengan para tuan tanah ini telah menciptakan kondisi sulit bagi warga karena memaksa mereka bekerja sebagai buruh tani dengan upah yang sangat rendah.

Pada tahun 2003, keadaan inilah yang mendorong warga untuk menggalang solidaritas sesama mereka dengan mendirikan perkumpulan bernama Forum Tani Pangalengan (FTP) yang kemudian mengintegrasikan diri ke dalam organisasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Didorong oleh faktor perkembangan kesadaran mereka akan hak ekonomi dan politik, kelompok ini kemudian menduduki beberapa bidang tanah yang ditelantarkan oleh pihak perusahaan. Usaha mereka untuk mendapatkan kesejahteraan dengan jalan memanfaatkan lahan terlantar di sekitar mereka ibarat gayung bersambut karena dihadapkan pada situasi kolapsnya PD. Kertasari Mamin-PDAP. Akhirnya, setelah mengalami berbagai intimidasi, seperti teror preman dan perusakan tanaman dengan menggunakan alat berat, tidak ada yang sanggup membendung kehendak 1500-an warga tak bertanah dari empat desa di Pangalengan untuk bercocok tanam, menyambung hidup di kawasan tersebut.

Sialnya, alih-alih menyukuri keadaan bahwa warga telah mampu mengembangkan perekonomiannya secara mandiri, Pemrov Jabar, PD. Kertasari Mamin-PDAP, dan sejumlah pihak lainnya yang berkepentingan, selama bertahun-tahun terus berupaya mengambil alih kembali tanah yang sudah menjadi bagian dari "nyawa" petani tersebut, bahkan dengan cara-cara yang represif.

Dalam perkembangannya, setelah gagal mengandalkan para preman, kali ini kelompok antipetani tersebut menggunakan kekuatan aparat keamanan untuk melakukan penekanan dengan jalan melakukan praktik kriminalisasi terhadap pimpinan AGRA Pangalengan Sutrman dan tiga orang pengurus lainnya. Hari ini, ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar 6 Perpu No. 51 tahun 1960 tentang Laranagn Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya sebagai respon atau laporan Otoritas Direksi PDAP Asep Sunarya. Selama menunggu persidanagn, ketiganya dikenakan wajib lapor dua kali dalam semingu ke kantor Kepolisian Resor Bandung.***





TENTANG AK SEGELAS BERAS UNTUK PETANI

Posted by | Posted in | Posted on 22.08

Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil menuangkan
segelas beras, tanda dibukanya kegiatan (23/7). Foto: Edi.
Berawal dari Keresahan yang dipicu oleh penderitaan yang dialami petani Pengalengan dan nasib kaum tani pada umumnya ditanah air, kami, atas nama sejumlah organisasi masyarkat sipil yang tergabung dalam The Humanitarian Center Indonesia Bangkit menggagas satu kegiatan berjudul "Segelas Beras untuk Petani".

Mengapa harus Beras?
Beras adalah simbol kesejahteraan. Dengan kegiatan ini, publik diajak untuk menyadari satu kondisi bahwa petani hari ini telah kehilangan kesejahteraannya. Hal yang sangat ironis di negeri agraris. Di samping bermakna filosofis, kegiatan ini terutama bertujuan untuk secara nyata membantu meringankan beban petani Pangalengan. Beras yang terkumpul mudah-mudahan bsa menjadi lumbung kecil cadangan pangan yang akan sedikit menghibur petani di tengah musim kemarau yang sulit, ancaman pemenjaraan serta kehilangan lahan garapan di wilayah Pangalengan.