CATATAN DI BALIK AK SEGELAS BERAS UNTUK PETANI
Posted by | Posted in Tentang | Posted on 22.58
![]() |
| Spanduk kampanye dibentangkan saat peluncuran AK Segelas Beras untuk Petani (23/7). Foto: Edi. |
Tidak bisa dimungkiri lagi, negara kita telah gagal dalam memajukan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Tidak pernah ada perubahan signifikan dalam dunia pertanian di tanah air. Bayangkan, keberadaan kerbau pembajak, cangkul, dan alat kerja tradisional lainnya yang merupakan peninggalan nenek moyang kita dari abad pertengahan, masih menjadi tumpuan utama dalam pertanian nasional. Lantas dimana korelasi antara ilmu pengetahuan yang (konon) dikembangkan di dunia pendidikan kita dengan kemajuan sistem pertanian? Hal ini berimbas pada semakin merosotnya kualitas hidup petani. Mereka harus bergelut dengan ketidakpastian nasib, tanpa adanya kepastian penghasilan dan jaminan sosial. Sebagai bukti, mari kita tengok persoalan petani yang ada di wilayah Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa Barat.
Tercatat sejak akhir tahun 1970-an, Pemrov Jabar menyewakan tanah seluas 134 hektar kepada PD Kertasari Mamin-Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan (PDAP), sebuah perusahaan BUMD milik Pemerintah Daerah. Sayangnya, perusahaan ini tidak mengalami kemajuan. Pada Perkembangannya, hanya satu hektar saja yang dimanfaatkan secara langsung, sementara sisanya disewakan kepada sejumlah tuan tanah lokal, bahkan sebagian lainnya dijual secara ilegal. Praktis, bukannya memberikan manfaat, perusahaan yang bekerjasama dengan para tuan tanah ini telah menciptakan kondisi sulit bagi warga karena memaksa mereka bekerja sebagai buruh tani dengan upah yang sangat rendah.
Pada tahun 2003, keadaan inilah yang mendorong warga untuk menggalang solidaritas sesama mereka dengan mendirikan perkumpulan bernama Forum Tani Pangalengan (FTP) yang kemudian mengintegrasikan diri ke dalam organisasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Didorong oleh faktor perkembangan kesadaran mereka akan hak ekonomi dan politik, kelompok ini kemudian menduduki beberapa bidang tanah yang ditelantarkan oleh pihak perusahaan. Usaha mereka untuk mendapatkan kesejahteraan dengan jalan memanfaatkan lahan terlantar di sekitar mereka ibarat gayung bersambut karena dihadapkan pada situasi kolapsnya PD. Kertasari Mamin-PDAP. Akhirnya, setelah mengalami berbagai intimidasi, seperti teror preman dan perusakan tanaman dengan menggunakan alat berat, tidak ada yang sanggup membendung kehendak 1500-an warga tak bertanah dari empat desa di Pangalengan untuk bercocok tanam, menyambung hidup di kawasan tersebut.
Sialnya, alih-alih menyukuri keadaan bahwa warga telah mampu mengembangkan perekonomiannya secara mandiri, Pemrov Jabar, PD. Kertasari Mamin-PDAP, dan sejumlah pihak lainnya yang berkepentingan, selama bertahun-tahun terus berupaya mengambil alih kembali tanah yang sudah menjadi bagian dari "nyawa" petani tersebut, bahkan dengan cara-cara yang represif.
Dalam perkembangannya, setelah gagal mengandalkan para preman, kali ini kelompok antipetani tersebut menggunakan kekuatan aparat keamanan untuk melakukan penekanan dengan jalan melakukan praktik kriminalisasi terhadap pimpinan AGRA Pangalengan Sutrman dan tiga orang pengurus lainnya. Hari ini, ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar 6 Perpu No. 51 tahun 1960 tentang Laranagn Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya sebagai respon atau laporan Otoritas Direksi PDAP Asep Sunarya. Selama menunggu persidanagn, ketiganya dikenakan wajib lapor dua kali dalam semingu ke kantor Kepolisian Resor Bandung.***



Comments (0)
Posting Komentar